Friday 5 September 2014

BOOK REVIEW : The Fault In Our Stars

As a book hunter, The Fault In Our Stars a.k.a TFIOS pasti nggak asing. Apalagi setelah film layar lebar berjudul sama melejit di box office. Semua orang, terutama para remaja cewek, SEMUANYA ngomongin tentang TFIOS. Bahkan sebelum film-nya ditayangkan di bioskop! Tapi sedihnya, banyak yang nggak tau kalau film yang mereka tonton itu sebenarnya diadaptasi dari novel karangan John Green. Aku sendiri baru selesai membaca novel itu sekitar beberapa bulan yang lalu. Waktu itu, banyak review-review bagus tentang novel tersebut dan bikin aku cukup penasaran. TFIOS sendiri terbit pada bulan Januari 2012, dan waktu itu menjadi best seller internasional. Emang agak telat sih, soalnya aku sendiri baru tau TFIOS di awal 2014 dan waktu itu aku beli yang versi internasional / pake bahasa inggris. Tanya kenapa? karena aku dari awal memang nggak minat untuk beli yang versi bahasa indonesia, bukan karena mau gaya-gayaan, tapi covernya ituloh-_- bukan cover originalnya, malah lebih ke arah buku cerita anak-anak daripada novel young-adult karangan seorang John Green . Dan yang lebih parah lagi, terjemahannya bikin kita garuk tembok. Anyway, meskipun di luar sana sudah banyak orang yang memberikan review tentang buku ini, aku akan tetap menulis review versi-ku sendiri.

Seperti yang bisa kalian tebak, The Fault In Our Stars memang mengisahkan tentang penderita kanker. Tapi ini bukan seperti cerita kanker biasanya, percayalah ;). Pujian pantas dialamatkan kepada John Green, karena tokoh Hazel Grace Lancaster sebagai seorang pencerita dalam novel ini dapat tergambarkan dengan baik. Ketika membaca TFIOS, kita benar-benar dapat mendalami emosi seorang Hazel sebagai seorang gadis 16 tahun dengan tumor di paru-parunya. John Green juga sukses membuat Augustus Waters pantas
dinobatkan sebagai salah satu best fictional boyfriend.

TFIOS juga membuat mataku berair bukan sekali-dua kali saja, tapi sering! Puncaknya pada waktu Hazel membacakan eulogy-nya untuk Gus pada waktu pre-funeralnya Gus. Novel ini dipenuhi dengan bumbu humor sarkastik dimana-mana. Dan pada versi inggrisnya, tidak banyak bagian yang dipotong / disensor karena penggunaan kata yang kurang sopan. Justru karena itulah yang membuat TFIOS menarik. Sisi blak-blak an John Green itulah yang bukannya membuatku risih, tapi jadi semakin tertarik dengan novel tersebut.
Meskipun beberapa kali menangis, Hazel sendiri bukanlah tipe cewek yang lemah. Dan keinginannya untuk meninggalkan kesan di dunia ini sebelum dia meninggal sangat membuat terkesan.
Tapi dugaanku tentang tokoh Peter Van Houten kayaknya agak meleset. Dan pada bagian dimana Peter menolak Hazel dan Gus waktu mereka mengunjungi Peter di Amsterdam bikin aku (dan pastinya kalian juga) pengin banget mencekik dia-_- serius!

Dan ketika aku sampai di halaman akhir, what the heck? secepat itukah? ketika sampai di halaman-halaman akhir rasanya berat sekali berpisah dengan novel amazing ini. Memang banyak yang bilang kalau TFIOS ini ending-nya gantung. Tapi nggak juga menurutku. Surat Augustus kepada Peter Van Houten tentang Hazel sangat pas sebagai penutup dari novel ini. Quotes yang tersebar dimana-mana di novel ini. Novel ber-cover biru ini juga berhasil membuktikan bahwa cerita tentang remaja bukan cuma cerita kosong yang bodoh dan tidak berbobot, tapi juga cerdas dan menginspirasi.

Jujur saja, ketika menonton film TFIOS, aku agak kecewa. Banyak adegan-adegan dalam novel yang tidak ada dalam film-nya. Tapi overall, film yang dibintangi Shailene Woodley, Ansel Elgort, dan Nat Wolff itu sudah sangat bagus. Shailene benar-benar menggambarkan sosok Hazel, namun Ansel sepertinya tidak terlalu cocok dengan perannya sebagai Gus. Bukan karena aktingnya yang tidak maksimal, tapi lebih ke penampilan fisiknya. Dalam novel, berkali-kali disebutkan bahwa Gus memiliki mata yang biru, nah pertanyaannya, di mana mata biru yang bikin Hazel tertarik itu? Haha. Tidak sampai disitu saja, tokoh Isaac yang diperankan oleh Nat Wolff benar-benar berbeda seperti apa yang kubayangkan sewaktu membaca novelnya. Rambut blonde Isaac dan tubuh kurusnya sama sekali tidak ada dalam Nat.
Tapi bagian di mana Hazel membacakan eulogy-nya untuk Gus pas pre-funeralnya si Augustus, tetep sukses bikin aku nangis~ Setting Amsterdam di film juga kurang lebih sama kayak yang aku bayangin waktu baca novelnya.
Soundtrack yang ada di film TFIOS juga asik-asik. Terutama Ed Sheeran - All Of The Stars, aaawww!

Well, semoga review-ku tentang TFIOS ini bisa ngasih referensi buat kalian :))) see ya next time!

"My life is a roller-coaster that only goes up" -John Green







source : +Instagram itsnadineorionna

No comments:

Post a Comment