Friday 12 September 2014

Serial Story : The Ghost Lover.

The Ghost Lover
by Nadine Orionna

CHAPTER ONE : CAN YOU SEE ME?

Perkumpulan yang kuhadiri setiap hari sepulang sekolah memang sedikit konyol. Maksudku, perkumpulan tersebut dihadiri oleh orang-orang yang sama setiap harinya dan topik yang dibicarakan juga selalu sama. Konyol memang, tapi aku tidak pernah absen dan di sinilah aku sekarang, di rumah Emily bersama dengan Abigail, Diana, dan Georgia yang duduk membentuk sebuah lingkaran kecil.

"Hey, kau tahu kalau Liam sekarang ini dekat dengan Isabelle?" ujar Georgia membuka 'pertemuan' konyol kami. Semua terdiam, entah berpikir bahwa informasi Georgia tidak penting, atau berpikir bagaimana caranya pura-pura tertarik dengan informasi itu. Aku menghela napas panjang, seakan semua beban yang mengganjal dipikiranku akan runtuh hanya dengan satu tarikan napas saja. "Guys, ayolah... sekali-kali aku ingin membicarakan yang lain. Aku bosan menggosip tentang pasangan-pasangan di sekolah yang sedang tenar." akhirnya aku buka suara. Semua mengangguk, mengamini pernyataanku barusan. Meskipun tanpa anggukan dari mereka, aku yakin mereka setuju. Kau tahu kan kata orang dulu bahwa seorang sahabat, meskipun tidak berkata-kata akan tetap memahami sahabatnya? kurasa itu yang kualami saat ini.

"Baiklah, kebetulan aku ingin melengkapi data penelitianku. Jadi aku membutuhkan beberapa jawaban dari kalian." Emily mengeluarkan setumpuk kertas dari file-holder merah muda miliknya.
"Pertama-tama, Caitlin, apa ketakutan terbesarmu?" Aku merapatkan bibir, menahan kata 'ketinggian' keluar dari mulutku. Sejak kecil aku memang tidak bisa berdiri di atas ketinggian lebih dari tiga meter. Aku pernah membaca di sebuah brosur kesehatan bahwa ketakutan seperti itu disebut phobia dan sampai saat ini belum ada obatnya kecuali pikiran kita sendiri. "Ketinggian" kataku. Setelah kupikir-pikir takut ketinggian bukanlah hal yang memalukan, mengingat banyak juga orang dewasa yang takut pada ketinggian.
"Jadi kau tidak takut hantu, monster, atau sejenisnya?"
"Tidak. Memang kenapa? hal semacam itu munculnya hanya dari pikiranmu saja. Mereka tidak nyata" jawabku enteng. "Oya, memang penelitian macam apa ini?"
Emily menuliskan beberapa kalimat di kertasnya lalu memandangku heran. "Memangnya aku belum cerita kalau klub karya ilmiah-ku menugaskan aku untuk membuat penelitian tentang jenis ketakutan seseorang?" Emily malah balik bertanya. Aku mengangkat alis, menampakkan wajah menyerah. Kadang banyak hal yang kupikirkan sampai aku melupakan hal-hal kecil seperti klub karya ilmiah Emily. Kami berlima adalah gadis dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang. Abigail adalah pecinta seni, buku matematika bagian belakangnya penuh dengan coretan gambar-gambar aneh. Diana dan Georgia, bagi mereka tiada hari tanpa menggosip! Artis, bintang sekolah, cowok, sampai orang paling tidak populer di sekolah saja mereka jadikan bahan menggosip. Kalau gadis berkacamata dengan rambut ekor kuda di hadapanku ini, dia penggila ilmu pengetahuan. Emily bahkan masuk ke ekstrakurikuler yang tidak diminati oleh anak-anak kebanyakan, Karya Ilmiah Remaja. Dan aku? Biasa. Setidaknya hanya itu yang bisa kudeskripsikan dari diriku. Segala aspek diriku kesannya sangat biasa. Tidak menonjol. Meski begitu, kami sudah bersahabat selama tujuh tahun, aku sendiri tidak mengerti apa yang menjadikan persahabatan kami bertahan sangat lama.
Biasanya kami melakukan pertemuan ini selama dua jam, berarti ini waktunya aku pulang.
nadineorisu.blogspot

Hawa dingin langsung menyergap ketika aku keluar dari rumah Emily. Musim gugur adalah salah satu musim yang tidak kusukai. Hujan kadang tiba-tiba datang tanpa dapat diduga, seperti saat ini. Jalanan ramai dipenuhi pegawai kantoran yang baru pulang bekerja. Kebisingan kendaraan berpadu dengan suara air hujan yang membentur tanah. Suasana kota seperti ini yang seringkali membuatku berpikir untuk pindah kota saja ketika aku lulus SMU. Jarak rumahku dengan rumah Emily dapat ditempuh dalam waktu sepuluh menit
dengan taksi, tapi dalam keadaan jalanan macet seperti ini kemungkinan perjalanan akan dua kali lipat lebih lama. Lagipula, taksi pasti dipenuhi oleh pekerja kantoran yang akan pulang ke rumah Akhirnya jalan kaki menjadi pilihan terakhirku. Untung saja aku tidak membawa buku-buku penting di dalam tas, sehingga kehujanan tidak jadi masalah buatku.

Baru saja aku akan melewati Buckingham street, terdengar suara ledakan dari arah pukul tiga. Tapi suaranya tidak mirip sebuah ledakan, melainkan seperti suara tabrakan. Aku menoleh ke kiri, dan menemukan sebuah mobil berlumuran darah di bagian depan. Aku tidak dapat melihat apa yang ditabrak mobil sedan tersebut karena terlalu banyak orang mengerumuninya.

"Maaf nona, kau dapat melihat siapa yang ditabrak itu?" seseorang menepuk pundak kananku. Aku menggeleng tanpa menoleh. "Aku tidak tahu. Terlalu ramai disana" kataku, kali ini menatap orang tadi. Seorang lelaki yang tingginya kurang lebih delapan inci di atasku menunjukkan air muka cemas. Rambut pirang gelapnya terlihat acak-acakan dan kaus kelabunya basah karena keringat dan air hujan. Tidak lama setelahnya, kerumunan orang mulai berkurang. Aku memanfaatkannya untuk memuaskan hasrat ingin tahuku.

"Sepertinya ia sudah meninggal." "Sepertinya begitu." kedua orang wanita paruh baya tampak prihatin menatap mobil dihadapan mereka. Setelah kedua wanita tersebut menyingkir, aku bisa tahu apakah atau lebih tepatnya siapakah yang menjadi korban mobil sedan tersebut. Seorang pria terkapar di jalanan dengan motornya yang juga sudah setengah hancur.
nadineorisu.blogspot
"Yah.. ternyata aku telah mati" kata lelaki rambut pirang dibelakangku tadi. "Ma-maksudmu?" Aku menoleh dengan tatapan horor. Jantungku berdegup kencang. Seorang polisi melepas helm si korban tabrakan, dan tampaklah wajah lelaki dengan rambut pirang. Ciri-cirinya sama dengan orang asing yang baru berbicara denganku. Seorang polisi datang lagi dan meraba-raba leher kiri korban. Setelah beberapa kali mengecek, akhirnya mereka memasukkan korban ke dalam kantong berwarna kurning, kantong jenazah.

"Aku baru saja tabrakan, semuanya terasa hitam dan ketika aku bangun, aku dapat melihat tubuhku terkapar di jalanan" pria tadi kembali buka suara. Perutku serasa dihantam sesuatu yang keras. Jika pria ini sudah meninggal, lalu aku berbicara dengan siapa? Pikiran-pikiran bergulat di benakku. Rasanya tidak masuk akal.

"Hey tunggu. Kau berbicara denganku. Kau bisa melihatku?" lelaki tadi membelalakkan mata, tak percaya. Jantungku berdebar sangat kencang, aku yakin sebentar lagi pasti jantungku meledak.

to be continued...

No comments:

Post a Comment